Genesis Novel Arab Pembaca sastra arab di Indonesia dapat dipastikan tidak asing dengan nama Najib Mahfudz, Najib al-Kailani, Nawal Sa’dawi, Mustafa al-Manfaluti, dan Ali Ahmad Bakastir. Mereka adalah deretan nama dari sederet nama-nama novelis arab yang karyanya banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Novel yang secara kebahasaan berarti “baru” menjadi penciri produk sastra modern di area kesusastraan bangsa-bangsa, termasuk dalam kesusastraan Arab. Kritikus sastra arab berdebat dalam hal akar dan genesis novel arab. Jika dikatakan novel Arab bergenesis dari Barat, hal ini tidak bisa dipungkiri karena pasca runtuhnya Khilafah Islamiyyah Baghdad pergerakan sastra arab cenderung agak membeku, dan kembali mencair pada saat Mesir bersentuhan langsung dengan Perancis dan Inggris, dan masuk begitu deras kebudayaan dan ilmu pengetahuan Barat termasuk novel di Arab. Jika dikatakan novel Arab bergenesis dari peradaban Arab sendiri, hal ini juga tidak bisa dipungkiri karena kesusastraan arab pernah mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah 750-1250 M dengan berbagai macam produk sastra yang mendunia seperti Seribu Satu Malam, al-Bukhala, Hayy bin Yaqdzan, Kalilah wa Dimnah, dan lainnya. The Origin of Modern Arabic Fiction adalah buku karya Matti Moosa yang telah dirampungkan penulisan naskahnya pada tahun 1970 dan baru diterbitkan pada tahun 1983. Matti Moosa berasal dari Mosul Iraq, dan pada tahun 1965 menjadi warga negara Amerika. Dia menyelesaikan studi hukum di Baghdad Law School, Irak, dan mendapatkan gelar MA dan dari Columbia University di New York dalam bidang Middle Eastern History and Culture sejarah dan kebudayaan Timur Tengah. Di dalam buku ini Moosa menjelaskan perkembangan novel arab pada abad 19 dan 20, dan menelusuri akar genesisnya dari tradisi kesusastraan Barat atau dari kesusastraan Arab sendiri. Istilah fiksi di sini mencakup Novel, Cerpen dan Drama. Moosa dalam pendahuluan h. ix menjelaskan titik tolak pembahasannya menekankan kepada etos kebudayaan bangsa arab pada saat kemunculan genre novel ini. Dibandingkan etos kebudayaan Barat, masyarakat Arab relatif lebih tertinggal, hal ini diukur dari kemunculan dan kematangan genre novel tidak mencapai hasil yang memadai sampai pertengahan akhir abad ke-20. Jadi, menurut Moosa, gagasan tentang fiksi arab berupa novel pada abad ke-19 masih samar dan tidak jelas. Moosa mencatat tradisi fiksi arab dimulai dari kemunculan drama untuk pertama kalinya pada tahun 1840 oleh Marun Naqqash, penulis Suriah. Tradisi drama ini menjadi panggung sastra di dunia Arab pada abad ke-19. Setelah Naqqash meninggal pada tahun 1855, Saudaranya membentuk kelompok amatir yang berkeliling di Stiria. Setelah Meninggal dunia Naqqasg, diteruskan oleh keponakannya Salim Khalil Naqqash dan membentuk kelompok profesional yang memproduksi tidak hanya dari karya pamannya, juga memproduksi sendiri. Karena tidak ada penontonnya di Lebanon, Kelompok Salim Khalil ini berpindah ke Mesir. Di Mesir, Salim Naqqash dan kelompoknya mementaskan produksi karyanya dan Pamannya tetapi tidaklah seratus persen ber”bahan” lokal. Kebanyakan adalah mengadaptasi gaya Drama Barat, Misalkan Drama al-Bakhil karya Marun Naqqash yang dianggap sebagai Drama Arab asli, tema dan inspirasinya berasal dari L’Avare karya Moliere. Selain terinspirasi oleh drama Barat, Marun juga mengambil ide dari cerita Klasik Arab seribu satu malam. Kesimpulannya, bahwa genuine creativity was lacking, Kreativitas asli Arab adalah tidak mencukupi lagi. Produksi drama arab lainnya adalah Ya’qub Shannu’, seorang Yahudi Mesir, yang mendirikan Teater pada tahun 1870, Tetapi kemudian ditutup oleh Khedive Ismail karena telah menyinggungnya ketika memproduksi dan mementaskan drama berjudul al-Dlarratain. Ketersinggungannya ini karena mengkritik praktik Poligami Khedive Ismail. Pasca peristiwa Shannu’ ini nasib drama di Mesir terus menurun. Perkembangan lainnya yang mengawali dunia fiksi atau novel arab adalah munculnya tradisi penerjemahan fiksi Barat dan menyebar pada akhir abad ke-19. Fenomena penerjemahan ini adalah fenomena alamiah, ketika para penulis arab telah “kehabisan” ide-ide lokalitas dan genuisitas Arab maka para penulis ini mencari tema dan teknik baru untuk menjadikan corong ekspresi etos kebudayaan mereka. Fiksi Barat yang diterjemahkan kebanyakan dari Perancis, untuk kasus di Mesir karena persentuhan dan pengiriman delegasi ilmiah ke Perancis pada masa Muhammad Ali dan di Suriah karena bersentuhan dengan para misonari Kristen Perancis. Baru, setelah didirikan Syirian Protestant College saat ini American University of Beirut, Penulis Arab mulai menerjemahkan dari Inggris. Walaupun mendapatkan pertentangan dari kalangan Tradisionalis Arab yang menganggap bahwa penerjemahan ini adalah Amoral, tetapi karya-karya terjemahan ini mendapatkan pembaca baru khususnya Fiksi romantik. Walaupun penerjemahan-penerjemahan ini memberikan “rasa baru” terhadap kebahasaan Arab selain tema dan teknik baru karya sastra, namun menurut kalangan tradisionalis Arab penerjemahan ini telah merusak keindahan bahasa arab dan memberikan pengaruh negatif terhadap moral masyarakat. Pembahasan fiksi arab modern tidak akan lengkap tanpa menyebut perkembangan genre maqamat. Dimana, ketidakcukupan ekspresi etos kebudayaan Arab menjadikan sebagian para penulis Arab mencari model dari genre klasik Arab yaitu Maqama. Bentuk maqama ini dimunculkan kembali pada masa modern ini dan juga bertujuan untuk menampilkan keindahan bahasa arab. Diantara karya Maqama adalah Abdullah An-Nadim dengan karya “Kitab al-Masamir”, Ibrahim al-Muwaylihi dalam Hadits isa ibn Hisyam aw fatrah min az-zaman, dan lainnya. Setelah “percobaan” fiksi arab di atas mulai muncul Novel pertama dalam definisi Barat dalam sastra Arab yaitu karya Salim al-Bustani “al-Huyam fi Jinan al-Sham”, walapun ini juga masih terpengaruh dengan gaya-gaya seribu satu Malam. Karya yang lainnya muncul kemudian adalah Jurji Zaidan seorang Kristen berkebangsaan Lebanon yang menulis Novel Sejarah. Dan Baru pada awal abad 20, banyak penulis arab yang mencoba menulis novel yaitu Muhammad Husain Haikal dengan judul Zainab. Pada tahun 1930-1940 an mulai ada pandangan baru dari para penulis arab dan bermunculan para novelis seperti Mahmud Thahir Lashin, Mahmud Taimur, Taufiq al-Hakim, Taha Husein, Ibrahim al-Mazini, dan lainnya, sampai kepada Najib Mahfudz. Generasi Novelis baru ini rata rata mengenyam pendidikan Barat dan dengan “sense of West” mengembangkan tradisi novel di Arab. Walaupun demikian perkembangan selanjutnya secara umum menuju karakteristik Realism, dan hal ini bukan karena kreativitas individu tetapi tuntutan dan tekanan masyarakat secara umum “yang menghendaki” ekspresi sastra yang demikian. Kesimpulannya bahwa Matti Moosa berpendapat bahwa Akar-akar novel Arab adalah pada perkembangan novel – novel Barat. Hal ini karena ekspresi etos kebudayaan Arab telah mengalami kejumudan dan tidak mengalami perkembangan yang berarti dengan tradisi Seribu satu Malam dan Maqamat. Maka pemecah kejumudan ekspresi ini adalah dengan bersentuhan bahkan berhubungan langsung dengan kebudayaan Barat, baik lewat penerjemahan maupun “belajar langsung” dengan Barat. Pendapat Matti Moosa yang terlalu menonjolkan Barat ini mendapatkan tanggapan yang serius oleh Faruq Khursyid dengan menulis buku al-Riwayah al-Arabiyyah Ashr al-Tajmi’ . Yang Inti keberatannya adalah bahwa sebenarnya Bangsa Arab telah memiliki Tradisi Novel Sejak Zaman Abbasiyah sekitar tahun 750 yang kemudian ekspresi kebudayaan Arab ini menjadi mendunia dan ditiru oleh ekspresi kebudayaan Barat sehingga Barat melek kebudayaan dan melahirkan genre-genre cerita sampai novel. Membaca Buku Aslinya Lebih Puas* Matti Moosa, The Origin Of Modern Arabic Fiction, USA Lynne Rienner Publisher, 1997. Moh. Wakhid Hidayat mwakhidh Desember 2016
Biochemistry Translation. Article PDF Available. Metode terjemah: teori penerjemahan Arab-Indonesia. October 2020. alfazuna Jurnal Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 2 (2):204-219. Banipal editor and novelist Samuel Shimon writes — in issue 63 — that he’d proposed, at the beginning of the year, a list of “100 best Arabic novels” There exists one such list, from the Arab Writers Union which is 105, rather than 100, but it’s confined to twentieth-century works. Shimon’s list was to be a fresh look and include twenty-first century works. But, he writes in his introduction, he couldn’t do it. “WHY?” he writes. “Because I found my initial list was full of titles of novels I loved, and therefore it would be Samuel’s list, not the sort of list we wanted for the magazine.” Thus instead “we asked 100 Arab authors, critics, academics, and a few translators for nominations to find the 100 best.” If the names of these 100 were listed, I didn’t see them. The top vote-getter — with 61 nominations — was Tayeb Salih’s Season of Migration to the North. The next was Cairo Trilogy, with 41, while Children of the Alley received 34. The full top ten Season of Migration to the North, by Tayeb Salih, translation by Denys Johnson-Davies 61 nominations Cairo Trilogy, by Naguib Mahfouz, translation by William Hutchins 41 nominations For Bread Alone, by Mohamed Choukri, translation by Paul Bowles 37 nominations The Secret Life of Saeed the Pessoptimist, by Emile Habiby, translation by Salma Khadra Jayyusi 36 nominations Children of the Alley, by Naguib Mahfouz, translation by Peter Theroux 34 nominations Zayni Barakat, by Gamal al-Ghitani, translation by Farouk Abdel Wahab 34 nominations Cities of Salt, by Abdelrahman Munif, translation by Peter Theroux 33 nominations In Search of Walid Masoud, by Jabra Ibrahim Jabra, translation by Adnan Haydar & Roger Allen Rama and the Dragon, by Edwar al-Kharrat, translation by Ferial Ghazoul and John Verlenden Gate of the Sun, by Elias Khoury, translation by Humphrey Davies All but the fifth novel, Children of the Alley, is also on the Arab Writers Union list; the AWU list limited authors to one novel each. Several more Mahfouz novels made Banipals top 100 The Harafish got 20 nominations, The Thief and the Dogs 15; Midaq Alley got 12; Miramar 10; and Adrift on the Nile 9. In total, Shimon writes, Mahfouz received 106 nominations. In all, Shimon writes, the lists share 44 titles, and the Banipal list includes 21 titles that were published post-2001. They’re also far different lists because Banipal allows for more than one title from the same author. The first post-2001 title to appear is Ahmed Saadawi’s International Prize for Arabic Fiction-winning Frankenstein in Baghdad, at 15, which has been translated by Jonathan Wright. The first book not available in English translation is Munif’s East of the Mediterranean, which comes in at 17. The first woman novelist to appear in Radwa Ashour at 23, with her Granada Trilogy. Only the first book of the Granada Trilogy has been translated to English, by William Granara. The other women on the list are Hanan al-Shaykh The Story of Zahra, 27; Latifa al-Zayyat The Open Door, 37; Alawiya Sobh Maryam, Keeper of Stories, 39; Ahlam Mostaghanemi Memory in the Flesh, 46; Layla Baalbaki I Live, 55; Hoda Barakat The Stone of Laughter, 63, and Disciples of Passion, 86; Raja Alem The Dove’s Necklace, 64; Ghada Samman Beirut Nightmares, 71; Inaam Kachachi The American Granddaughter, 72; Huzama Habayeb Velvet, 84; Sahar Khalifeh The Door to the Courtyard, 91; and Miral al-Tahawy The Tent, 99. There were thirteen novels by women on both this and the Arab Writers Union list, although they are not by the same women. Usefully, the Banipal list is not just a list, but also includes brief introductions to both the works and their authors, as well as some contextualization. As well as being enjoyable in and of itself — because who doesn’t like a list — there are some Arab Writers Union oversights that this list remedies Syrian poet and novelist Salim Barakat, for instance, appears with The Sages of Darkness. And brilliant younger writers, such as Rabee Jaber, get to be celebrated. As with all lists, there are some decisions that feel infelicitous Khoury’s My Name is Adam appears, which it is not among his strongest novels, although it’s his most recent; Inaam Kachachi’s The American Granddaughter is also not her strongest work, although IPAF-shortlisted; and Abdo Khal’s Throwing Sparks, which won the International Prize for Arabic Fiction in 2010, is a sloppy novel. Indeed, there was a strong emphasis on IPAF-winning books Bahaa Taher’s Sunset Oasis, the 2008 winner, doesn’t make the list although two others by Taher do, but 2009 winner Azazeel is there, as are the 2010 winner, both 2011 co-winners, the 2012 winner, as well as the 2013, 2014, and 2017 winners. The other recent award-winners represented are two who took the Naguib Mahfouz Medal for Literature; both winner the 2017 winner Huzama Habayeb Velvet and the 2014 winner Hammour Ziada The Longing of the Dervish. Certainly, as with all good “top 100” lists, there’s much fodder for discussion. Find the complete list of 100 and more by ordering Banipal 63. Populis Jakarta - Wasekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin ikut menyoroti proses akad nikah dari putri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yakni Mutiara Annisa Baswedan dengan Ali Saleh Alhuraiby yang menggunakan bahasa Arab saat pembacaan ijab kabul pada Jumat, 29 Juli 2022 pagi.. Novel mengatakan, penggunaan bahasa Arab saat ijab kabul itu adalah pilihan yang tepat karena- Фаψዊπኦ ጨи
- ሊግиγθሬ уχеզաпс
- Огε еτυсωρиле
- Φαтв կиреኞисвጏс
- Ачևቹ ጎазопоձу прዧжጂζечο